Ketika menatap Indonesia di abad 21 ini Tampaklah olehku ratusan ribu desa, Jutaan hektar sawah, ladang, perkebunan, Peternakan, perikanan, Di pedalaman, di pantai dan lautan, Terasa olehku denyut irigasi, pergantian cuaca, Kemarau dan banjir datang dan pergi Dan tanah airku yang Digebrak krisis demi krisis, seperti tak habis habis, Terpincang-pincang dan sempoyongan. Berjuta wajahmu tampak olehku Wahai saudaraku petani, dengan istri dan anakmu, Garis-garis wajahmu di abad 21 ini Masih serupa dengan garis-garis wajahmu abad yang lalu, Garis-garis penderitaan berkepanjangan, Dan aku malu, Aku malu kepadamu. Aku malu kepadamu, wahai saudaraku petani di pedesaan. Hidup kami di kota disubsidi oleh kalian petani. Beras yang masuk ke perut kami Harganya kalian subsidi Sedangkan pakaian, rumah, dan pendidikan anak kalian Tak pernah kami orang kota Kepada kalian petani, ganti memberikan subsidi Petani saudaraku Aku terpaksa mengaku Kalian selama ini kami jadikan objek Belum lagi jadi subjek Berpulih-puluh tahun lamanya. Aku malu. Hasil cucuran keringat kalian berbulan-bulan Bulir-bulir indah, kuning keemasan Dipanen dengan hati-hati penuh kesayangan Dikumpulkan dan ke dalam karung dimasukkan Tetapi ketika sampai pada masalah penjualan Kami orang kota Yang menentapkan harga Aku malu mengatakan Ini adalah suatu bentuk penindasan Dan aku tertegun menyaksikan Gabah yang kalian bakar itu Bau asapnya Merebak ke seantero bangsa Demikian siklus pengulangan dan pengulangan Hidup kami di kota disubsidi oleh kalian petani Karbohidrat yang setia kalian sediakan Harganya tak dapat kalian sendiri menentukan Sedangkan kami orang perkotaan Bila kami memproduksi sesuatu Dan bila tentang harga, ada yang mencoba campur tangan Kami orang kota akan berteriak habis-habisan Dan mengacungkan tinju, setinggi awan Kalian seperti bandul yang diayun-ayunkan Antara swasembada dan tidak swasembada Antara menghentikan impor beras dengan mengimpor beras Swasembada tidak swasembada Menghentikan impor beras mengimpor beras Bandul yang bingung berayun-ayun Bandul yang bingung diayun-ayunkan Petani saudaraku Aku terpaksa mengaku Kalian selama ini kami jadikan objek Belum jadi subjek Berpuluh-puluh tahun lamanya Aku malu Didalam setiap pemilihan umum dilangsungkan Kepada kalian janji-janji diumpankan Tapi sekaligus ke arah kepala kalian Diacungkan pula tinju ancaman Dulu oleh pemerintah, kini oleh partai politik Dan kalian hadapi ini Antara kesabaran dan kemuakan Menonton dari kejauhan DPR yang turun, DPR yang naik Presiden yang turun dan presiden yang naik Nasib yang beringsut sangat lamban Dan tak kudengar dari mulut kalian Sepatah katapun diucapkan Saudaraku, Ditengah krisis ini yang seperti tak habis-habis Di tengah azab demi azab menimpa bangsa Kami berdoa semoga yang selama ini jadi objek Dapatlah kiranya berubah menjadi subjek Jangka waktunya pastilah lama Tapi semuanya kita pulangkan Kepada Tuhan Ya Tuhan Tolonglah petani kami Tolonglah bangsa kami Amin. Juli 2003 Taufk Ismail
Jumat, 23 November 2018
Malu Aku Menatap Wajah Saudaraku Para Petani karya taufik ismail oleh nur richana
Ketika menatap Indonesia di abad 21 ini Tampaklah olehku ratusan ribu desa, Jutaan hektar sawah, ladang, perkebunan, Peternakan, perikanan, Di pedalaman, di pantai dan lautan, Terasa olehku denyut irigasi, pergantian cuaca, Kemarau dan banjir datang dan pergi Dan tanah airku yang Digebrak krisis demi krisis, seperti tak habis habis, Terpincang-pincang dan sempoyongan. Berjuta wajahmu tampak olehku Wahai saudaraku petani, dengan istri dan anakmu, Garis-garis wajahmu di abad 21 ini Masih serupa dengan garis-garis wajahmu abad yang lalu, Garis-garis penderitaan berkepanjangan, Dan aku malu, Aku malu kepadamu. Aku malu kepadamu, wahai saudaraku petani di pedesaan. Hidup kami di kota disubsidi oleh kalian petani. Beras yang masuk ke perut kami Harganya kalian subsidi Sedangkan pakaian, rumah, dan pendidikan anak kalian Tak pernah kami orang kota Kepada kalian petani, ganti memberikan subsidi Petani saudaraku Aku terpaksa mengaku Kalian selama ini kami jadikan objek Belum lagi jadi subjek Berpulih-puluh tahun lamanya. Aku malu. Hasil cucuran keringat kalian berbulan-bulan Bulir-bulir indah, kuning keemasan Dipanen dengan hati-hati penuh kesayangan Dikumpulkan dan ke dalam karung dimasukkan Tetapi ketika sampai pada masalah penjualan Kami orang kota Yang menentapkan harga Aku malu mengatakan Ini adalah suatu bentuk penindasan Dan aku tertegun menyaksikan Gabah yang kalian bakar itu Bau asapnya Merebak ke seantero bangsa Demikian siklus pengulangan dan pengulangan Hidup kami di kota disubsidi oleh kalian petani Karbohidrat yang setia kalian sediakan Harganya tak dapat kalian sendiri menentukan Sedangkan kami orang perkotaan Bila kami memproduksi sesuatu Dan bila tentang harga, ada yang mencoba campur tangan Kami orang kota akan berteriak habis-habisan Dan mengacungkan tinju, setinggi awan Kalian seperti bandul yang diayun-ayunkan Antara swasembada dan tidak swasembada Antara menghentikan impor beras dengan mengimpor beras Swasembada tidak swasembada Menghentikan impor beras mengimpor beras Bandul yang bingung berayun-ayun Bandul yang bingung diayun-ayunkan Petani saudaraku Aku terpaksa mengaku Kalian selama ini kami jadikan objek Belum jadi subjek Berpuluh-puluh tahun lamanya Aku malu Didalam setiap pemilihan umum dilangsungkan Kepada kalian janji-janji diumpankan Tapi sekaligus ke arah kepala kalian Diacungkan pula tinju ancaman Dulu oleh pemerintah, kini oleh partai politik Dan kalian hadapi ini Antara kesabaran dan kemuakan Menonton dari kejauhan DPR yang turun, DPR yang naik Presiden yang turun dan presiden yang naik Nasib yang beringsut sangat lamban Dan tak kudengar dari mulut kalian Sepatah katapun diucapkan Saudaraku, Ditengah krisis ini yang seperti tak habis-habis Di tengah azab demi azab menimpa bangsa Kami berdoa semoga yang selama ini jadi objek Dapatlah kiranya berubah menjadi subjek Jangka waktunya pastilah lama Tapi semuanya kita pulangkan Kepada Tuhan Ya Tuhan Tolonglah petani kami Tolonglah bangsa kami Amin. Juli 2003 Taufk Ismail
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Lanjut donk puisi nya
BalasHapus